Minggu, 20 April 2008

BAB III

KEMANDIRIAN GEREJA

I. PENGERTIAN TENTANG GEREJA.

Supaya kita bisa memahami kemandirian Gereja dengan lebih tepat, perlu terlebih dahulu kita memahami apakah sébenarnya Gereja itu. Kata "Gereja" dalam bahasa Indonesia berasal dari kata "igreya" dalam bahasa Portugis. Kata "igreya" ini mungkin terjemahan dari kata "kuriake" (bahasa Yunani) yang ber­arti "milik Tuhan". "Kuriake" ini berasal dari kata "kurios" yang berarti Tuhan. Maksudnya yaitu umat milik Tuhan yang berarti orang-orang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus se-bagai Juru selamat. Sebutan "igreya" maupun "kuriake" dipakni sesudah zaman Para Rasul dan sebutan ini menekankan pengertian persekutuan umat yang sudah melembaga.

Di dalam Perjanjian Baru, persekutuan umat perca­ya itu disebut “ekklesia” (bahasa Yunani). Kata ini adalah kata majemuk, gabungan dari kata "ek" yang artinya "keluar" dan "kaleo" yang artinya "memanggil". Kata ini dipakai pada Kisah Rasul 5: 11; 19: 39;-Mat. 16: 18, Roma 16: 5. Dari akar kata-katanya jelaslah bahwa kata "ekklesia" yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "Gereja" ini berarti "umat yang dipanggil supaya keluar". Dalam terjemahan menjadi kata "Gereja" pengertian ini menjadi tidak jelas. Sedangkan pengertian dari kata-kata asli ini sangat penting dan menentukan citra gereja yang benar. Dari sini bisa di simpulkan bahwa gereja adalah persatuan orang-orang per­caya yang dipanggil supaya keluar. Pertama keluar dari kegelapan masuk kepada tarongNya dan kedua keluar memasuki dunia (masyarakat/bangsa-bangsa) supaya bersaksi dan melayani (bdk. I Petrus 2:9),

Sepetti kita ketahui, dalam bahasa Indonesia Gere­ja juga disebut "Jemaah" (bentuk tunggal) dan "Jemaat" (bentuk jamak atau lebih dari satu). Kata-kata ini berasal dari bahasa Arab.

Pengertian Perjanjian Baru tentang Gerejo sebagai umat yang disuruh keluar ini merupakan kelanjutan dari pengertian Perjanjian Lama. Umat percaya itu dalam Perjanjian Lama disebut Qahal (lengkapnya Qahal Yahweh), artinya umat yang dalam perjalanan. Baik Qahal Yahweh maupun Ekklesia mengemukakan pengertian mengenai, umat yang belum melembaga melainkan menekankan fungsi oran - orang percaya di dalam masyarakat dan bangsanya yang harus bersaksi dan melayani pekerjaan Tuhan yang hidup. Menekankan fungsi berarti menekankan kegiatan nyata dalam rangka bersaksi dan melayani. Sesudah jaman rasul-rasul usai barulah ada pelembagaan umat tersebut menjadi Jemaat-jemaat muda yang tersebar di banyak wilayah.

Panggilan orang percaya itu dimulai sejak Abraham yang disuruh keluar dari negeri asalnya (Haram), dilanjutkan kepada bangsa keturunannya yaitu Israel, Kej.12: l-6. Dalam Ulangan 7: 6 diterangkan bahwa Israel adalah umat Allah yang kudus. Tuhan memanggil mereka menjadi JemaatNya, Yes. 41: 9; 42:. 6; 43 : 1.

Yang harus kita perhatikan yaitu bahwa pemilihan atau panggilan kepada Abraham dan Israel yaitu supaya menjadi berkat bagi bangsa bangsa di sekitamya, bahkan bangsn bangsa di seluruh dunia, Kej. 12: 1-3 menjadi semacam "engsel" sejarah bangsa bangsa yang lama dan yang baru. Diciptakan "jarak" antara Israel dengan bangsa bangsa yang lain supaya Israel sebagai "pilot proyek" Allah mencerminkan kehidupan bersama Allah dan dengan demikian akan menjadi terang bagi bangsa bangsa yang lain. Karena bang­sa bangsa tersebut melihat Allah yang hidup didalam se­jarah Israel. Selanjutnya supaya bangsa bangsa tersebut me­ngenal dan menerima Allah Israel, Yes. 42: 6, bandingkan pula dalam Mikha 4: 1-3. Ini berarti bahwa pemilihan dan pemisahan Israel dari bangsa bangsa lain itu tidak menjadi tujuan Allah. Tujuannya yaltu supaya Israel menjadi saksi bagi Tuhan. Itu sebabnya pemilihan itu disusul dengan penugasan.

Pengertian ini sangat aktif (dinamis), tidak pasif. Allah mengasíhi dunia ini, bekerja terus menerus melalui Roh Kudus untuk menyelamatkannya, Yoh. 3: 16. Gereja tidak boleh menyangkal bahwa hak hidupnya adalah untuk dunia (masyarakat, bangsa bangsa). la hanya memiliki hak hidup bila bersaksi dan melayani masyarakat. Gereja yang hanya sibuk melayani dan mengurus dirinya sendiri bisa diragukan apakah dia milik Kristus. Roh Kudus bekerja terus dan jemaat harus menjadi kawan sekerja-Nya.

Jemaat missioner yang pimpinan dan anggotanya hidup baru di dalam Kristus, bersaksi dan melayani masya­rakat sekitarnya dengan menggunakan semua talenta atau karunia yang diberikan Tuhan. Talenta atau karunia meliputi segala yang rohani (akal budi, iman, kesabaran, ketaatan, kepekaan terhadap masalah sosial disekitarnya, dll.) dan se­gala yang material (harta kekayaan, uang, sarana atau alat alat, dll) serta waktu yang diberikan Tuhan. Semuanya harus dipergunakan untuk bersaksi dan melayani. Secara theologis, Gereja bisa dibedakan menjadi Gereja yang kelihatan dan Gereja yang tidak kelihatan. Gereja yang tidak kelihatan terdiri dari orang orang kudus dari segala zaman dan tempat yang sudah ditentukan untuk tidak ditelan maut, Mat. 16 18, Kol. 1: 18. Gereja yang kelihatan adalah Jemaat sebagai organisasi umat dengan segala alat-alatnya (Majelis Gereja, gedung Gereja/tempat kebaktian, organisasi gereja, Komisi komisi Gereja, dll). Semua perangkat organisasi adalah duniawi sedangkan rohnya, semangatnya adalah dari Tuhan. Di dalam Gereja yang kelihatan ini tercampur orang-orang yang beriman dan yang tidak beriman, Yesus mengambarkan gandum tercampur ilalang, Mat. 13: 24 - 30.

Karena pintu tobat masih terbuka maka bisa terjadi yang sesungguhnya tak beriman menjadi bertobat. Dan bisa pula yang beriman meninggalkan Tuhan. Namun kita tidak bisa dan tidak boleh menentukan yang mana gandum dan yang mana ilalang. Paling jauh kita hanya bisa meragukan. Pendeta, anggota Majelis Gereja tak ada kewenangan untuk menetapkan, sebab hanya berhadapan dengan pengakuan dan tanda tanda. Tugas Pendeta, para anggota Majelis lainnya adalah membina dan menggembalakan warga untuk pertobatan dan berfungsinya hidup baru dalam Kristus.

II. APAKAH KEMANDIRIAN GEREJA ITU?

a. Kemandirian secara asasi.

Kata "kemandirian" berasal dari kata "mandiri", artinya berdiri sendiri (Kamus Umum Bahasa Indonesia, WJS Purwadarminta, BP Jakarta, 1976). Jadi "kemandirian" berarti hal berdiri sendiri.

Dalam rangka pembahasan mengenai kemandirian gereja ítu bersifat am, baik dari segi waktu (zaman) maupun tempat (kapan saja dan dimana saja). Setiap gereja yang benar adalah "mata rantai" barisan umat percaya sepanjang zaman yang dimulai sejak Abraham secara berkesinambungan. Ini berarti bahwa gereja itu selalu salíng berhubungan dan saling tergantung satu sama lain. Maka itu kemandirian gere­ja dalam arti berdikari atau berdiri sendiri secara murni dan konsekuen tidak ada.

Sebutan "ekklesia" yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Gereja atau Jemaah mempunyai arti yang rangkap, yaitu Gereja setempat (lokal) maupun Gereja Gereja secara keseluruhan sebagai sinode. ("Sinode" dari kata "sun" artinya bersama-sama dan "hodos" berarti jalan, arti katanya: berjalan bersama sama). Band. Mat. 16: 18; I Kort. 10: 32.

Dengan demikian, Alkitab memang memungkinkan untuk mempersoalkan kemandirian Gereja baik tingkat lokal maupun lebih luas (Klasis dan Sinode). Dari angka 1 tersebut di atas kiranya jelas bahwa Gereja adalah umat percaya yang dipanggil supaya melaksanakan tugas suruhan Tuhan di dalam masyarakat dan bangsa bangsa dalam rangka karya penyelamatan Allah yang berkelanjutan sampai kiamat. Karena itu Jemaat sering disebut juga sebagai kawan sekerja Allah. Karena itu tolok ukur kemandirian Gereja harus dilihat dari sudut panggilan Tuhan dalam masyarakat dan bangsa bangsa, apakah suruhan tersebut dilaksanakan atau tidak. Sebab dengan melaksanakan panggilanNya itulah Gereja mewujudkan dirinya menjadi Gereja Tuhan yang benar. Apabila suruhan itu tidak dilaksanakan, gereja seperti itu patur diragukan, bukanlah milik Tuhan Yesus. Dari titik tolak tersebut bisa disimpulkan: KEMANDIRIAN GEREJA ADALAH KEMAMPUAN GEREJA UNTUK MELAKSANAKAN TUGAS PANGGILANNYA DENGAN KEKUATANNYA SENDIRI.

Kekualan sendiri berarti segala pikiran, tenaga, sarana, keuangan (dana) yang ada dan yang bisa diadakan (berpotensi dari tidak ada menjadi ada melalui penggalian, dll.) untuk mendukung tugas suruhan Tuhan yang dilaksanakannya. Yang menentukan terlaksananya sebuah jemaat untuk mandiri yaitu ORIENTASI ALKITAB dari jemaat yang bersangkutan (para anggotanya). Jemaat tidak mungkin mandiri da­lam arti sebenarnya apabila wawasan atau perikehidupannya tidak berorientasi kepada Alkitab. Berorientasi kepada Alkitab berarti nilai-nilai dari Alkitab sebagai Firman Tuhan itulah yang menggerakkan, memberi motivasi, menyemangati seluruh kehidupannya (pekerjaannya sepak terjangnya, kelakuannya, kejujurannya, sikapnya terhadap orang lain, dll.).

Gereja percaya bahwa untuk keperluan melaksanakan tugas panggilan itu Tuhan telah mengaruniakan talenta kepada setiap orang percaya, periksa Ep. 4: 11,12,13; Fil. 4: 19; I Kor. 1: 5J; Yoh. 15: 5.

Dari pandangan ini jelaslah bahwa bantuan dari Gereja lain maupun pihak-pihak lain (Pemerintah, dll) yang diperoleh dengan jalan apapun tidak termasuk kekuatan sendiri. Yang menjadi persoalan kita yaitu sudahkah kita menggali dnn mengelola potensi kita baik mengenai tenaga, pikiran, sarana, keuangan dengan sungguh sungguh dan bertanggung jawab. Kemandirian pada hakekatnya merupakan pertanggung jawaban iman Kristen.

Di dalam Tuhan, kita tidak perlu khawatir dalam hal kemampuan sendiri, sambil terus waspada bahwa kemalasan, ketidak sungguhan, pengelolaan milik yang tidak bertang­gung jawab bisa mengakibatkan tidak pernah mandiri.

Secara rínci, tugas warga Gereja yaitu :

1. Pemberitaan Injil dan pengajaran tentang iman

2. Pelayanan kasih kepada semua orang,

3. Ibadah dan pembinaan persekutuan umat.

Inilah yang lazimnya dikenal sebagai tritugas orang percaya, atau imamat am orang percaya (I Petrus 2: 9, dll.) Tritugas orang Kristen ini menjadi dasar dari tritugas Gereja sebagai persekutuan umat Tuhan:

1. Persekutuan (Keesaan),

2. Kesaksian (PI),

3. Pelayanan (Diakonia).

Inilah yang lazimnya disebut sebagai tritugas Gereja (band. Yesaya 49: 6; Kis. Ras. 1: 8; 2 :17 - Kesaksian, I Kor. 12: 12-26, Yoh. 17: 21 - Keesaan, II Kor. 9: 1; 8: 4, Roma 15: 25, I Petrus 4: 10 - Pelayanan.

Pelaksanaan panggilan Tuhan inilah yang menjadi wujud dan hakekat baik sebagai orang Kristen sebagai perorangan maupun sebagai Jemaah, dengan mana mereka berlaku sebagai kawan sekerja Allah. Hanya apabila panggilan itu dilaksana­kan, gereja akan berkembang. Sebaiknya, bila tidak dilaksa­nakan akan menjadikan seorang Kristen dan gereja mandul (steril), tidak berbuah (bandingkan perumpamaan talenta, Matius 18).

Sehubungan dengan usaha pembinaan (PWG), pokok berikut ini harus diutamakan :

1. Katekisasi (termasuk pembaharuan katekisasi),

2. Kegiatan orientasi Alkitabiah ( PA, dll.),

3. Kegiatan Keesaan,

4. Pembinaan keluarga Kristen,

5. Pembinaan kategorial (pemuda, wanita, anak, kaum tua).

6. Pembinaan golongan profesi (mantri, bidan, guru, pedagang, dll.).

Kemandirian Gereja meliputi (mencakup) tiga bidang penting, sebagai berikut :

1. Kemandirian dibidang daya,

2. Kemandirian dibidang dana (keuangan),

3. Kemandirian dibidang theologia.

Seharusnya kemandirian dalam tiga bidang ini dilaksanakan secara serentak. Masing-masing bidang adalah wajah dari kemandirian yang satu, bukan alternatif untuk dipilih.

Catatan :

1. Selama ini teori kemandirian yang banyak dianut di Gereja gereja adalah teori yang

mengemukakan :

- Bisa mengatur (memerintah) diri sendiri,

- Bisa mengembangkan diri sendiri,

- Bisa membiayai diri sendiri.

Teori ini dikemukakan antara lain oleh Zendeling yang bekerja di Tiongkok yang kemudian banyak dianut baik dengan atau tanpa koreksi. Teori ini banyak dikemukakan oleh visitator Gereja, misalnya dalam hal mendewasakan sebuah kelompok menjadi gereja mandiri. Tetapi penganutnya tokh tidak pernah konsekwen, misalnya dalam hal keuangan diperhitung kan asal bisa memenuhi kebutuhan 50% jumlah nafkah tenaga Gereja dan jumlah warga cukup banyak. Karena itu, ditamban pula bahwa dengan teori itu kurang ditonjolkan faktor keesaan, maka seyogyanyalah teori itu kita tinggalkan.

2. Bahwa prientasi kehidupan gereja sesungguhnya harus di rubah

(melalui usaha pembinaan, dll.) dari pola ibadah menjadi pola

melayani dan menatalayani.

3. Persoalan: bolehkah gereja yang mandiri minta bantuan dari gereja lain.

Untuk menjawab pertanyaan ini, di depan sudah dikemu­kakan:

- Harus sungguh-sungguh menggali dan mengelola potensi sendiri,

- Bahwa gereja yang benar merupakan bagian dari gereja yang am, saling berhubungan dan saling tergantung;

Itu berarti :

- Gereja wajib saling membantu didalam kelebihan dan kekurangan masing-masing, bandingkan II Kor. 8: 1-5.

- Harus diusahakan agar prinsip saling membantu tidak merusak prinsip kemandirian, "terlebih baik memberi daripada menerima" (Kis-Rasul 20: 35) seharusnya menjadi pedoman kehidupan setiap Gereja.

III. KEMANDIRIAN DAYA, DANA DAN THEOLOGIA

Pandangan berikut ini dimaksudkan untuk menunjukkan arah dalam rangka usaha usaha pemantapan kemandirian di bidang daya, dana dan theologia yang ketiganya seharus­nya dikembangkan secara serentak. Disini secara singkat dijelaskan pula pengertian dari kemandirian bidang bidang tersebut. Mengenai kemandirian di bidang dana periksa Bab VIII.

1. Kemandirian dibidang Daya.

Kemandirian dibidang daya berarti pengerahan atau pendayagunaan potensi warga gereja semua orang atau sebanyak banyaknya untuk rnelaksanakan tritugas mereka dan tritugas Gereja.

Pengerahan atau pendayagunaan ini bertitik tolak dari iman kita bahwa setiap orang percaya menerima karunia. Setiap orang, secara berbeda beda menerima karunia atau talenta dari Tuhan, Epesus 4: 7. Jadi tidak ada orang percaya yang kosong. Pembinaan Majelis Gereja dan lain lain, bertujuan untuk mengembangkan talenta rnasing-masing warganya melalui kégiatan kesaksian dan pelayanan. Dengan bekerja bagi Tuhan itu "otot otot imán" orang percaya makin dikuatkan. Sebaliknya bila tidak demikian, orang percaya akan mudah terserang, "penyakit". Dengan pikiran, tenaga, uang, waktu, harta, bakat bakatnya, semua orang percaya harus melayani Tuhan. Selain pembinaan, Majelis gereja berkewajiban pula untuk menggembalakan para warganya.

Untuk mencapai mobilisasi (pengerahan) warga gereja ini, Jemaat harus diorganisasikan secara baik. Sering sekali terjadi banyak warga bersikap pasif saja hanya karena merasa dirinya "tidak dipakai". Di lingkungan jemaat kita banyak yang bersaksi bahwa di gereja asalnya mereka tidak "terpakai", ibarat wayang mereka adalah wayang pingir un­tuk sekedar dibeber yang tak pernah ditampilkan. Di lingkungan GKSBS mereka merasa terpakai dan dibutuhkan, ibarat wayang mereka adalah wayang tengah.

Dalam rangka kemandirian daya ini, penting sekali pengembangan kepemimpinan dari Majelis Gereja. Termasuk disini yaitu pengembalaan kepemimpinan dwifungsi dari Pendeta/Pembantu Pendeta, yaitu kepemimpinan rangkap: Jemaat dan masyarakat. Pada dasarnya kepemimpinan dwifungsi ini merupakan tugas dari Majelis Gereja juga. Baik Pendeta, Pembantu Pendeta, anggota Majelis Gereja, semua harus berkembang menjadi pemimpin informal (tak resmi) yang diterima dan diakui kepemimpinannya oleh masyarakat.

Dalam rangka kemandirian di bidang ketenagaan ini telah diselengarakan pula Kursus Kader Inti DPB dan SCP (Sekolah Calon Pendeta) dan program beasiswa bagi sejumlah mahasiswa Theologia. Usaha usaha pengaderan termasuk pula usaha kemandirian di bidang daya. Selama ini terbukti membina putra daerah dalam rangka pengadaan tenaga pimpinan terbukti menjawab tantangan. Di waktu mendatang, pengadaan tenaga Gereja dari suku suku lain (non Jawa) di GKSBS merupakan alternatif yang harus dikerjakan dalam rangka mengembangkan diri sebagai GERE­JA DAERAH.

Semua usaha kemandirian dibidang daya ini harus berorientasi kepada lapangan pelayanan (masyarakat majemuk Sumbagsel). Perlu kita ingat bahwa "pangkalan" dari semua usaha ini adalah usaha usaha orientasi Alkitabiah dari warga gereja dengan mana pemahaman dan penghayatan Firman dalam rangka panggilan Tuhan dilaksanakan secara terus menerus.

2). Kemandirian di bidang Theologia.

Theologia adalah tanggapan orang percaya berdasarkan imannya terhadap Firman Tuhan untuk hidup. Firman Tuhan itu bisa didengar dan dipahami dari Alkitab didalam bimbingan Roh Kudus. Firman itu menuntut supaya orang percaya mentaatinya didalam semua bidang kehidupan: mengelola ekonomi, kehidupan masyarakat, kebudayaan, kesenian, lingkungan hidup, pendidikan, kesehatan, hubungan dengan sesama dan lain-lain. Tanggapan terhadap Firman Tuhan yang menuntut ketaatan itu dipikirkan, diungkapkan dan di amalkan didalam kehidupan ini, baik berhubungan dengan diri sendiri, keluarga, jemaat, masyarakat, pemerintah, alam lingkungan dll.

Lebih dari itu, kehendak Tuhan didalam semua ta­tanan kehidupan itu harus diberitakan, dicanangkan kepada semua pihak, misalnya: masyarakat, kaurn pengusaha, peme­rintah, tetangga, sanak famili, dan lain lain supaya didengar dan ditaati. Sebab semua kehidupan ini pada dasarnya sudah dimenangkan dan dikuasai oleh Kristus Tuhan yang telah mati dan bangkit, Mat. 20: 18. Tetapi selain kuasa Allah yang bekerja melalui Roh Kudus, di dunia dan dalam semua bidang kehidupan itu masih pula bercokol kuasa iblis yang sedang sekarat. Semua orang percaya yang bersaksi dan melayani dilibatkan oleh Kristus dalam karya pembebasanNya kehidupan manusia tersebut dari kuasa iblis.

Dari keterangan ini jelas bahwa iman itu adalah untuk hidup atau diamalkan di dalam semua bidang kehidup­an. Sebagai orang Kristen Indonesia yang ditempatkan di wilayah Sumbagsel ini setiap waktu kita harus hidup dan berperi laku sesuai dengan iman Kristen di dalam semua bidang kehidupan tersebut dan dalam hubungan kita dengan masyarakat dari berbagai suku di sini. Ini berarti bahwa se­mua warga Gereja pada dasarnya adalah Theolog (orang yang berusaha untuk merumuskan tanggapan imannya terhadap tuntutan Firman untuk hidup). Kemandirian di bidang Theologia berarti usaha usaha untuk mengungkapkan iman Kristen di dalam hubungan dengan masyarakat dan situasi atau tantangan yang dihadapi.

Beberapa contoh persoalan yang menuntut jawab kita :

- Haruskah bangunan Gereja bermenara dan pasang lonceng?

- Haruskah kuburan orang Kristen bertanda salib?

- Bisakah lonceng diganti dengan bedug atau kentongan?

- Bisakah gamelan dipakai dalam kebaktian?

- Bisakah syukuran dipakai sebagai ganti kenduren?

- Tata Gereja bagaimana yang tepat untuk GKSBS?

- Bisakah wayang, ludruk, jaran kepang, ketoprak untuk PI?

- Bisakah persembahan dengan uang diganti dengan hasil bumi?

- Bolehkah bibit tanaman yang akan ditanam dibawa ke Gereja untuk didoakan

dalam kebaktian?

- Bagaimana cara PI kepada suku Lampung, Kubu, Rejang, Padang?

- Bolehkah perayaan Natal diramaikan dengan kesenian Lampung?

- Bolehkah memulai sambutan dalam pertemuan dengan"Assalamu'alaikum

warahrnatullahi wabarakatuhu" ?

- Bolehkah menggantikan "kula nuwun" (permisi)dengan

"assalamu'alaikum"?

- Bolehkah mengikuti kenduren tetangga yang beragama Islam?

Sebagai Jemaat dan orang Kristen, kita harus deng­an sungguh sungguh memikirkan jawab atas persoalan persoa­lan tersebut di atas dan yang serupa, dari yang kecil sampai yang besar untuk dilakukan. Persoalan ini tak ada buhungannya dengan macam macam aliran Theologia yang lazim dipelajari di sekolah Theologia, yaitu Theologia dari Eropa dan Amerika yang ti­dak menyentuh persoalan persoalan tersebut. Sehubungan de­ngan itu, kita tidak perlu anti Theologia asing sebab mungkin saja tetap bisa dipergunakan sebagai bahan bahan pembantu. (Hanya kemungkinan, tidak pasti). Segi penting dari kemandirian Theologia juga termasuk gerakan Oikumene. Kita harus mempunyai sikap positip, mentaati panggilan Tuhan supaya kita bersatu dengan semua umat Kristen, Yohanes 17: 21. Bahkan kemandirian Theologia inipun harus kita pikirkan, kembangkan secara oikumenis dengan umat Kristen setempat.

b. Kemandirian Gereja secara Struktural.

Kemandirian Gereja secara struktural adalah kemandirian Gereja secara organisasi sebagai lembaga yang pada tingkat tertentu berdiri sebagai jemaat dewasa, Klasis maupun Sinode sebagai pertanda kemandiriannya sebagai Gereja atau Gereja-gereja. Ini dibedakan daripada kemandirian secara asasi (periksa II a). Kemandirian secara asasi adalah persoalan atau usaha yang terus menerus, kemandirian secara struktural tidak demikian. Kedua macam kemandi­rian ini tentu merupakan buah atau perwujudan dari karya Roh Kudus.

Organisasi Gereja harus dipandang hanya sebagai alat untuk menata dirinya supaya bisa melaksanakan missinya di tengah masyarakat dan negaranya. Ini berarti bahwa organisasi Gereja itu harus bersifat terbuka untuk diperbaiki apabila ternyata ia tak mampu memenuhi tuntutan míssinya. Tentu kemungkinan koreksi, perobahan ini telah ditentukan cara caranya di dalam peraturan yang bersangkutan, misalnya Tata Gereja.

Termasuk dalam kebutuhan mengembangkan ke­mandirian di bidang ini adalah Indonesianisasi istilah dan/atau perangkat Gerejawi, misalnya: deputat, akta, aktuarius, siasat, moderamen, klasis, diaken, diakonia, praeses, scriba, konsulen, kontrakta, peremtoir, questor, visitasi, visitator, dan lain lain. Ini adalah kebutuhan jangka panjang yang ha­rus diperhatikan untuk menggantikan dengan istilah padanannya dalam bahasa kita.

Kemandirian Sinode Wilayah I GKJ menjadi Sinode GKSBS adalah kemandirian struktural. Kemandirian struktural ini harus terus menerus ditopang deng­an usaha usaha pemantapan kemandirian secara asasi sepanjang umur GKSBS sebagai Gereja Daerah.

*) Di sini tidak termasuk masalah penyempurnaan organísasi Gereja.

3. Kemandirian Dana.

Kemandirian dana berarti kemandiriun Gereja yang ditopang, dengan keuangan dan sarana sarana lain yang bersumber dari kekuatan sendiri dalam rangka pembiayaan dan mencukupi sarana bagi pelaksanaan panggilan Tuhan. Dalam hal ini kita dituntut supanya berani berpikir dan berkebijaksanaan yang realistis (sesuai dengan kenyataan) didalam kekurangan kita, yaitu dengan menerapkan pola prioritas. Pola prioritas yaitu kebijaksannan untuk menetapkan dan mendahulukan urusan berdasarkan kepentingannya (ada yang harus dilaksanakan dan yang bisa ditunda, semuanya disusun dalam urutan). Tidak perlu " besar pasak dari pada tiang " atau "gegedhen empyak kurang cagak". Orang kristen ataupun Gereja yang suka memimpikan yang indah-indah, tidak akan mandiri. Dengan yang sederhana, di dalam Tuhan kita bisa berbuat hal-hal yang penting dan berarti. (bandingkan Daud yang mengalahkan Goliat hanya dengan ketapel). "Persembahan janda yang miskin". (Markus 12: 41-44) kiranya selalu memberi hikmah :

- Kepentingan Tuhan mendahului kepentingan sendiri,

- Merasa diri tergantung dari berkat Tuhan bagi keperluan hidup, dalam usaha kemandirian dibidang dana.

Sehubungan dengan hal ini, terkait berbagai masalah yang harus dihadapi dalam usaha kemandirian dana, a.l:

- Warga Gereja kurang sadar

- Kurang motivasi untuk memberi,

- Kurang teladan, dan lain lain.

Dalam rangka kemandirian dana ini pula harus diterapkan pembinaan segi rohani dan jasmani secara seimbang (man dan oman) untuk mendorong perkembangan yang harmonis (seimbang).

Tidak ada komentar: