Minggu, 20 April 2008

BAB IV

PENGERTIAN YANG SALAH DAN

HAMBATAN KEMANDIRIAN

Pengantar

Uraian ini dimaksud untuk mengoreksi/ memperbaiki pengertian yang salah tentang kemandirian. Adapun pengertian yang salah/keliru lersebut disebabkan antara lain:

1). PengerHan yang salah kaprah :

a. Pengertian kemandirian gereja disamakan / disejajarkan dengan

kemandirian orang berumah tangga.

a. Pengertian kemandirian yang dihubungkan

b. dengan pengertian kemandirian daripada Pernerintah atau

organisasi lain, yaitu yang perhatiannya dipusatkan ke­pada

"dana" untuk membiayai diri sendiri, tidak lagi tergantung

kepada pihak iain.

2). Pengertian theologisnya kurang menyesuaikan dengan jamannya, sehingga masih berpegang pada

pengertian theologis yang lama.

Pengertian pengertian yang salah tersebut perlu kita koreksi agar pemahaman kita mengenai kemandirian gereja bisa benar dan kalauwarga gereja bisa memahami secara benar arti dari kemandirian gereja, maka dengan rasa tanggung jawab juga turut mendukung kemandirian gerejanya. Arti kemandirian gereja yang telah dipahami bersama oleh Sinode GKSBS, adalah sebagai berikut:

- Kemandirian Gereja berarti kemampuan atau kesanggupan Gereja untuk menyatakan hakekat Gereja.

Untuk lebih jelas kaitannya akan diuraikan pada bagian berikutnya.

I. PENGERTIAN PENGERTIAN SALAH TENTANG KEMANDIRIAN GEREJA.

1. Adanya pengertian yang "salah kaprah".Pengertian yang salah kaprah ini kami bagi menjadi 2 bagian yaitu :

a. Yang pertama dikaitkan dengan kedewasaan seseorang dan terus berumah tangga. Ada yang berpendapat bahwa berumah tangga perlu direncana secara matang, kalau belum bisa mencukupi kebutuhan sendiri, belum punya pekerjaan sendiri, jangan berumah tangga sebab nanti akan menjadi be­ban orang lain.

b. Pengertian kemandirian yang disamakan dengan istilah kemandirian di Pemerintahan atau organisasi lain. Pengertian ini biasanya arti kemandirian dihubungkan dengan dana dari masyarakat itu sendiri. Pengertian ini kalau kita terapkan kepada arti kemandirían Gereja juga tidak cocok, karena dengan pendapat ini orang berpikir membicarakan kemandirian ka­lau Gerejanya sudah bisa membiayai diri sendiri. Seperti telah dijelaskan dalam No. 1. a di atas dana memang diperlukan dalam kemandirian Gereja yaitu untuk sarana menunaikan tugas panggilan Gereja. Tetapi bukan dana yang menjadi pusat orientasinya, sebab dengan pemahaman theologis yang benar. Tuhan selalu menyediakan apa yang diperlukan oleh umatnya (Periksa Efesus 4: 11, 12; Filipi 4: 9; I Kor. 1: 5,7 dan Yohanes 15: 5). Jadi dalam kemandirian Gereja dana hanya merupakan salah satu faktor saja, tetapi masih ada faktor yang lain yaitu theologiá dan daya. Kalau kita mengamati pengertian bahwa kemandirian yang menjadi pusat orientasinya adalah daña, maka hal ini akan mempengaruhi juga pola pembinaan Jemaat jemaat kita, lebih dipusatkan kepada pembinaan agar dananya kuat dahulu, baru kemudian berpikir kepada kemandirian Gereja.

2. Pengertian theologis yang kurang menyesuaikan de­ngan perkembangan jaman.

Dahulu kemandirian Gereja diartikan sebagai berikut: Gereja yang sudah bisa membiayai diri sendiri, memerintah sendiri dan mengembangkan sendiri. Atau lebih dikenal dengan triself (tiga sendiri).

Pemahaman ini mengakibatkan hal yang tidak baik bagi perkembangan jemaat, karena jemaat dikemudian hari akan menjadi jemaat yang introvert artinya jemaat yang sibuk mengurus diri sendiri tanpa mempedulikan keadaan luar. Lagi pula kehidupan Gereja lalu banyak menganut pola parochíál (ibadah) yaitu dalam hal kegiatan gerejani lebih ba­nyak memusatkan perhatiannya untuk jemaatnya sendiri, dan kegiatan untuk kepentingan ke luar hampir tak ada. Pemahaman istilah "sendiri" juga sering mengakibatkan orang lebih mementingkan diri sendiri. Maka dari itu Jemaat yang menganut pola ini kehidupan persekutuannya akan sempit, artinya tidak banyak bergerak dalam gerakan oikumene. Tetapi sebaliknyo ada yang berpendapt, berumah tangga harus punya tekad mandiri yang kuat, ibaratnya kalau punya klasa, bantal cukup buat modal berumah tangga, asal tekad mandirinya kuat. Kedua pendapat itu memang ada pada masyarakat, dan kedua duanya telah banyak terjadi dimasyarakat.

Yang pertama dengan pola persiapan maten baru berumah tangga, sedang yang kedua dengan modal tekad mandiri yang kuat.

Kedua pola tersebut telah terjadi di masyarakat dan sudah barang tentu pola tersebut bisa berlangsung sesuai dengan kondisi dari masing masing yang akan melakukannya. Kedua pola tersebut kalau kita terapkan kepada kemandirian gereja yang akan kita pahami di atas tidak cocok, karena kemandirian gereja berpangkal kepada tugas panggilan gereja yang lazim dikenal sebagai Imamat am orang percaya (I Petrus 2: 9), yaitu sebagai berikut:

a. Pekabaran Injil.dan pengajaran tentang iman.

b. Pelayanan kasih kepada sesama.

c. Ibadah dan pembinaan persekutuan umat.

Dan ini merupakan dasar daripada Tritugas Gereja sebagai persekutuan umat Tuhan di dunia ini, yaitu :

1. Persekutuan (Keesaan).

2. Kesaksian (PI)

3. Pelayanan (Diakonia).

Jadi kemandirian Gereja sebenarnya hubungannya dengan existensi/ keberadaan Gereia itu di daerah dimana Gereja itu berada. Kalau Gereja melakukan tugas panggilannya di dae­rah itu, artinya keberadaan Gereja di daerah itu telah ada. Untuk dapat melaksanakan tugas panggilannya diperlukan berbagai hal untuk menopang antara lain

a. Pemahaman akan tugas panggilan Gereja.

b. Orang orang yang bisa memberikan motivasi, mengorganisir,

melayani.

c. Dana untuk menopang pelaksanaan tugas tersebut di atas.

Oleh karenanya kalau membicarakan kemandirian gereja kita membicarakan :

- Kemandirian dibidang theologia

- Kemandirian dibidang daya.

- Kemandirian dibidang dana.

Jadi dengan demikian pemahaman kemandirian seperti di atas perlu diperbaiki. Gereja gereja di Indonesia pada sidang Raya DGD di Ambon 1984 telah merumuskan arti Kemandirian Gereja sbb :

Kemandirian Gereja adalah suaíu proses yang berjalan terus menerus untuk menuju kepada kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan sesuai dengan kepenuhan Kristus (Ef. 4: 13).

Ini berarti bahwa kemandirian merupakan ungkapan rasa tanggung jawab untuk mengembangkan dan mengelola segala sesuatu yang diterima dari Tuhan untuk pelaksanaan tugas panggilan, baik secara pribadi maupun bersama, di tengah bangsa dan untuk dapat saling melayani (II Kor. 9). Kemandirian Gereja mencakup tiga unsur yaitu : theologia, daya dan dana, di mana satu sama lain saling berkaitan dan juga saling mempengaruhi satu terhadap yang lain. Dan yang terpenting lagi dipahami adalah bahwa cita-cita kemandirian Gereja dikembangkan dalam rangka usaha memperbaharui, membangun dan mempersatukan Gereja demi tugas panggilan bersama dari pada Gereja di Indonesia. Jadi adalah keliru pengertian yang mengartikan bahwa ke­mandirian Gereja tidak lagi berhubungan dengan Gereja lain, semuanya diatasi sendiri. Justru kemandirian Gereja harus mampu melihat persekutuan dengan Gereja lain, dalam mengemban tugas panggilan bersama.

II. HAMBATAN KEMANDIRIAN GEREJA.

1. Sikap yang cenderung memikirkan "Gerejanya sendiri". Sikap ini sangat merugikan kemandirian Gereja secara luas, baik klasikal maupun sinodal. Seharusnya tiap Gereja menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari Gereja yang satu dan esa baik dengan gereja lain sesinode maupun dengan gereja tetangga. Yesus sendiri berdoa untuk kesatuan GerejaNya yang terpecah pecah sekarang ini: "supaya mereka semua menjadi satu ..." (Yoh. 17: 21). Kesatuan itu mempunyai konsekwensi tenaga, keuangan, dan lain lain. Demikianlah maka pembayaran sesanggen Klasis, Sinode, sumbangan kepada gereja lain, dll merupakan kebutuhan pokok dan tidaklah layak apabila hanya dipikirkan sesudah "Gere­janya sendiri" tercukupi. Kesatuan Gereja tidak boleh hanya dalam kata dan bahasa, betapapun manisnya.

2. Merasa masih miskin. Karena miskin menganggap diri tidak bisa mandiri. Pendapat ini juga pendapat yang salah. Mandiri tidak bisa disamakan dan tidak harus kaya. Jemaat Makedonia yang miskin adalah jemaat yang mandiri. Dalam kemiskinan mereka, mereka membantu Jemaat Yerusalem, "saudara tua" mereka (II Kor. 8; 1, dst). Sebab hal membantu sesama itu mereka anggap sebagai panggüan Tuhan sendiri. Karena itu kemiskinan tidak benar apabila dipakai sebagai alasan untuk tidak mau memikul beban bersama.

3. Tidak atau kurang percaya diri. Mungkin saja sikap ini adalah sikap pribadi/perorangan maupun Gereja sebagai umat. Dalam banyak urusan orang atau Jemaat bisa dengan cepat merasa diri tidak mampu, tidak kuat merasa kecil, dll. Ini merupakan hambatan mental yang sangat fatal atau mencelakakan. Tidak akan ada sesuatu yang berarti yang bisa dikerjakan dengan perasaan yang salah tersebut. Kepada kita semua, perorangan maupun Jemaat, Tuhan telah mengaruniakan talenta, Epesus 4: 12, I Korintus 12: 1-11 dll. Talenta itu ha­rus dikembangkan bagi pelayanan untuk Tuhan dan se­sama.

4. Erat hubungannya dengan sikap No. 3. tersebut adalah sikap takut resiko. Resiko apapun, keliru, salah, terbengkalai, dan lain lain memang harus dihindari dengan perencanaan dan perhitungan yang cermat dan mau percaya kepada berkat Tuhan. Ketika Yesus sedang sibuk mengajar murid-muridNya takut resiko bagaimana memberi 5000 orang makan minum sampai mengusulkan kepadaNya supaya mereka dibubarkan saja. Murid muridNya waktu itu takut resiko sebab tidak percaya kepada berkat Tuhan (Lukas 9: 10-17, dll).

5. Sikap nrima. Ini berarti sikap puas terhadap keadaan yang ada yang berarti mandeg atau tidak mau berkembang lebih jauh lagi. Sikap inipun merupakan hambatan bagi kemandirian, sebab kemandirian pada dasarnya adalah perjuangan mengikuti panggilan Tuhan.

Tidak ada komentar: